Friday 23 February 2018

I Had A Sister at School

Kalau lagi sendirian, atau melakukan sesuatu yang monoton, pasti biasanya otomatis otak udah lari ke mana-mana. "Lari ke mana-mana" dalam artian kepikiran hal-hal yang ngga semestinya dipikirin kayak,

"Wait, waktu hari Senin ada kejadian X kan ya. Terus kenapa saya bereaksi begitu ya? Seandainya saya merespon dengan cara lain seperti A B C D, kira-kira apa yang bakal terjadi ya?"

Atau tiba-tiba keinget memori random yang udah lama banget. Kayak barusan, tiba-tiba keinget momen dulu waktu kelas 1 SMA. Iya, otak langsung memvisualisasikan suasana di sebuah sekolah negeri di Jakarta, lingkungan yang hanya saya rasakan 1 tahun.

Tiba-tiba keinget dulu ada seorang kakak kelas 3 perempuan yang super-baik. I remember this sentence of hers that time,

"Kamu mau nggak jadi adek aku di sekolah?"

Honestly, waktu itu saya nggak paham seperti apa sih konteks "kakak-adekan" yang mungkin lagi nge-trend antara kakak dan adek kelas saat itu, tapi saya mengiyakan saja. Sesungguhnya yang lebih membuat saya nggak paham lagi adalah kenapa kakak itu mau "mengangkat" saya jadi adeknya di sekolah.

Momen kelas 1 SMA adalah momen yang paling nggak terlupakan sepanjang sejarah hidup saya. Tentu di samping karena itu adalah momen terjunnya saya ke dunia perteateran sekolah, adalah juga karena itu momen di mana saya di-bully oleh mayoritas teman-teman seangkatan. Hahaha. (I could write this and laugh now, while at that moment I used to spend my days crying. Silently.)

Maka dari itu, saya heran, di tengah nyinyiran dan lirikan sinis yang saya dapatkan setiap hari di lingkungan teman-teman seangkatan, justru ada kakak kelas yang begitu baik dan tulus pada saya. Saya ingat, begitu jam istirahat, saya terkadang menghabiskan waktu di depan kelas si kakak, berbincang berdua. Saya ingat juga, pernah suatu waktu, si kakak menertawai istilah Jawa saya yang campur aduk dengan bahasa Indonesia.

"Ih, awas, Kak. Nanti spidolnya mblobor."
"Hah? Apaan tuh, mblobor?"
"Iiiiih, itu lho. Tintanya ngerembes banyak ke mana-mana."
"Oooh. HAHAHA. Ya ampun, Dek. Istilahmu aneh banget sih."
"..... Itu bahasa Jawa sih. Hehehe. Aku ngga tau bahasa Indonesianya apa."
"Hahahaha. Hmmm, luber mungkin?"

Dan kita berlanjut menertawai hal-hal sepele lainnya.

Kami beberapa kali menghabiskan waktu bersama, jalan ke mall dekat sekolah, atau janjian datang ke pensi sekolah. Kalau nggak salah, waktu itu si kakak sudah punya pacar, tapi ia tetap meluangkan waktu untuk jalan bersama saya. Kami bahkan sempat photo box berdua, lho! Terdengar manis ya. Hehe. Dia adalah sosok kakak pertama yang saya dapatkan seumur hidup saat itu (karena saya anak pertama di keluarga).

Sejak saya pindah sekolah begitu kelas 2, saya sudah semakin jarang berkomunikasi dengan kakak itu. Bahkan sekarang, saya sudah totally lost contact dengannya. Tapi memori yang baru saja terbersit ini jadi mendorong saya untuk mencari kontaknya di deretan teman Facebook saya setelah ini.

Kalau dipikir-pikir, kakak itu mungkin salah satu cara Tuhan menunjukkan bahwa di tengah-tengah lingkungan yang tidak sehat, pasti masih ada orang-orang yang baik. Di tengah-tengah orang yang membenci kita, pasti masih ada orang-orang yang sayang dan peduli pada kita.

Seandainya semua orang menyadari hal ini.


Momen seusai pementasan teater sekolah
Di teater, teman-teman saya juga kebanyakan kakak kelas

Foto kelas X-7
(Tapi nggak nyimpen foto sama si kakak. Sedih...)


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...