Tuesday 3 September 2019

Preggo Story: Bayi Sungsang dan Komentar Orang

Pagi ini saya bangun dengan kepala sedikit berat. Malam tadi, saya baru bisa terlelap setelah pukul 3 pagi, setelah sebelumnya menangis sulit berhenti.
Telepon masuk dari mama, seolah bisa merasakan kegelisahan anaknya dari jauh.

"Gimana kondisi bayinya, Nak?"

"Sehat, Ma. Tapi... ya... terakhir USG, kepalanya masih di atas..."

Tenggorokan saya tercekat, air mata mulai mengaburkan penglihatan. Rasanya kekuatan baru yang saya pupuk sejak bangun tadi, sirna begitu saja begitu mendengar suara mama.

Memang, sudah dua kali sesi USG dalam dua minggu ini, dokter selalu menyatakan bahwa bayi saya dalam presentasi bokong, atau posisi bokong di bawah. Bahkan dalam sesi USG terakhir, dokter sudah tampak khawatir dan takut mengambil resiko, sehingga menyarankan saya untuk dirujuk ke RS dan dijadwalkan operasi caesar karena kondisi bayi yang sudah masuk minggu ke-36.

Hasil USG 4D janin saya di minggu 29

Oh iya, sedikit informasi, saya sejak trimester kedua selalu memeriksakan kandungan (konsultasi dokter + USG 2D + USG 4D) di klinik dekat rumah karena fasilitas yang cukup lengkap dan harganya lebih terjangkau dibanding RS. Untuk sesi konsultasi dan USG, ditangani oleh dokter Sp.OG., namun persalinan di klinik itu sendiri nantinya akan ditangani oleh bidan saja. Karena memang pemilik klinik itu adalah bidan juga.

Saya sudah mengikuti anjuran dokter untuk sering mempraktekkan posisi bersujud, namun sepertinya memang si bayi masih senang berputar-putar dengan posisi kepala di atas, terkadang menyerong. Menurut informasi yang saya baca di beberapa artikel, faktor penyebab bayi sungsang adalah banyaknya cairan ketuban dalam rahim dan juga karena placenta previa, atau kondisi di mana plasenta terletak di bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir. Nah, dua kondisi itu ada pada saya. Meskipun letak plasenta saya tidak sampai menutupi jalan lahir, tapi masih tergolong letak rendah dan sangat dekat dengan jalan lahir.

"Yaudah, nggak apa-apa, Nak. Apapun cara lahirnya nanti, mau normal maupun caesar, pasti yang terbaik menurut Allah."

"I...ya, Ma..."

Saya diam sejenak, berusaha menormalkan nafas yang sudah mulai bergetar.

"Tapi, Ma, aku takut sama komentar orang-orang...

Aku takut... Kalau aku sampai harus operasi, aku dianggap gagal sebagai ibu... Semua orang bisa lahiran normal, Mama, mama mertua, masak aku nggak bisa..."

"Ya ampun, Naaak... Omongan orang yang nggak penting kayak gitu nggak usah dipikirin. Lagipula setiap orang kan punya kondisinya masing-masing."

Intonasi suara mama terdengar sangat gemas menanggapi kegelisahan anaknya. Lalu Mama melanjutkan,

"Di mana-mana yang namanya udah punya anak, ya otomatis dengan sendirinya menjadi ibu.
Emangnya nanti kalo anakmu udah besar, orang-orang bakal tanya ke anakmu, 'Eh, dulu kamu lahir normal apa caesar?'"

Jleb. Omongan mama ada benarnya juga.

"Tapi... Ada yang bilang kalau anak yang lahir caesar akan lebih lemah secara fisik, Ma..." kataku dengan suara yang bergetar dan air mata yang mengalir di pipi.

"Nak, banyak teman-teman mama yang lahir caesar, anaknya sehat-sehat aja sampai besar. Nggak usah jauh-jauh, adik mama juga anaknya dua-duanya lahir caesar. Sekarang, anak pertamanya berprestasi, ikut lomba catur seprovinsi. Apa itu membuktikan bahwa anak yang lahir caesar akan 'berbeda'?"

Saya terdiam, merenungi omongan mama sambil sesenggukan. Rasanya seminggu lalu saya sudah berhasil menguasai emosi saya dan lebih ikhlas terhadap apapun takdir Allah. Tapi mengapa kini saya goyah lagi hanya karena ketakutan akan komentar orang lain, yang bahkan nggak merasakan ada di posisi saya?

Pembicaraan di telepon itu diakhiri dengan beberapa saran posisi yang perlu dipraktekkan untuk membantu bayi memutar, dari mama. Sambil ditutup dengan kalimat yang mengajak saya memasrahkan hasil akhir pada Yang Maha Kuasa. Karena sesungguhnya Dia-lah yang paling berkuasa atas apa-apa yang terjadi pada makhluk-Nya.

***

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...