Sunday 26 March 2017

How Does It Feel to Be An Outsider?

It's been a long time since the last time I wrote here. Well, 4 months ago, and it was my ONLY post in 2016 and blah blah blah blah blah whatsoever. Intinya, HEY, NICE TO SEE YOU AGAIN, BLOG! :)

Kehidupan dan segala macam kesibukan yang membuatnya berarti sudah membawa saya jauh sekali dari dunia per-blog-an. Ya, sekilas cerita mengenai salah satu hal yang membuat saya very bizzzzi belakangan ini sudah sempat dijelaskan di post sebelumnya ya. Please kindly take a time to read it if you're curious.

Saya rasa saya udah nggak jago buat ngelucu (or let's call it "ngegaring") di blog lagi. Bahkan menulis serius pun saya ragu masih inget caranya. But thanks God, saya masih inget cara menulis dengan EYD dan tanda baca yang benar. Hahaha.

---

Barusan sekali, saya menemukan tulisan menarik di salah satu blog lama saya. (Yes, I had several blogs in different platforms for different purposes. What a neatly planned social media person, ain't I?) Tulisan yang saya tulis 3 tahun lalu dengan judul "Apakah Menjadi Populer Menyenangkan?". Whoops, too big. Sorry not sorry.

Kalau kalian melihat saya sekarang dan melabeli saya dengan embel-embel "hits", "populer", "artis" atau apapun itu, kalian perlu membaca tulisan saya tersebut. Tulisan itu menjelaskan sekali seperti apa saya tiga tahun yang lalu dan, jika mau flashback lebih jauh, ketika SMA dulu.

Kalau beberapa dari kalian pernah punya perasaan "berbeda", "dipandang berbeda" atau bahkan "entah kenapa meskipun sudah berusaha menjadi normal tetap saja tidak bisa seperti mereka", hey, you're not the only one who think that!

Outsider. (c) Me.

Sebagian orang mungkin sudah terbiasa dengan panggung, terlatih atau bahkan sudah memimpikan menjadi orang yang disorot sejak kecil, tapi tidak dengan saya. Benar saya beberapa kali ikut pementasan operet, teater dan lomba menyanyi sejak kecil. Tapi itu sebenarnya adalah salah satu cara saya menyingkirkan demam panggung, kegugupan saat dilihat orang banyak. Di luar itu semua, ada sekali momen di mana saya sangat takut ketika harus bernyanyi di hadapan puluhan orang di sekolah hingga saya memilih untuk bernyanyi di samping drummer sepanjang lagu, lalu begitu selesai, saya menangis karena merasa penampilan saya sangat buruk dan memalukan.

Dulu saya sering merasa kagum dengan orang yang bisa menjadi dirinya sendiri dan dengan mudahnya masuk ke berbagai kalangan, juga menjadi model sampul buku tahunan, misalnya. Sementara saya memimpikan wajah saya bisa jadi sampul buku tahunan saja belum pernah. Satu-satunya prestasi saya yang berhubungan dengan sampul buku tahunan ialah gambar saya yang diangkat menjadi sampul buku tahunan SMP oleh guru kesenian. Beri tepuk tangan untuk gambar saya yang lebih menjual dibanding wajah saya saat itu, mungkin? Hahaha.

Perihal menjadi diri sendiri, saya sudah melakukan berbagai eksperimen untuk definisi "diri sendiri" versi saya. Sementara di SMP saya menjadi orang yang galak dan "jagoan" (mentang-mentang anak Taekwondo sabuk merah strip dua, jadi suka nantangin anak-anak nakal di sekolah, untuk membela anak-anak baik, tentu saja), di SMA saya mulai menjadi diri yang lebih kalem, meski tetap "ceriwis" di waktu-waktu tertentu sih. Dan ternyata menjadi diri sendiri tidak semudah itu.

Popular girls be like... (c) Me.

Lirikan sinis, senyuman terpaksa, bisik-bisik negatif di belakang, dicemooh, bahkan ditimpuki kertas oleh anak-anak lelaki ketika maju ke depan kelas mungkin cukup untuk menjelaskan seberapa outsider-nya saya ketika kelas 1 SMA. Bukan hanya di kelas, tapi hampir seangkatan, karena bisik-bisik dari anak-anak "populer" di kelas menyebar ke anak-anak "populer" di kelas lain. Dan begitulah struktur organisasi kepopuleran di sekolah, pada akhirnya menurun ke khalayak ramai di strata bawahnya. But calm down, people, I finally moved away from that turbulence cycle. And also calm down, another people, I've forgiven y'all since years ago. This is just a part of my interesting life story that I think I need to tell.

Geeky, weird, unpopular--whatever you name it--alien.

Kalau kalian baca tulisan "Apakah Menjadi Populer Menyenangkan?" itu, kalian pasti tahu juga bagaimana kondisi saya di lingkungan kuliah. Meski tidak sekejam kelas 1 SMA, tapi well, I was still an outsider, if I might say. No matter how hard I tried. Tapi kemudian saya sadar, that there's no point untuk (hanya) jadi populer. I was starting to accept my unpopularity and enjoyed it. Saya belajar banyak sekali hal dan cara mensyukuri hidup hanya dari hal-hal sederhana. Belajar menghargai individu-individu "unik" dan "berbeda" yang hanya bisa kau temui di luar bagan kepopuleran.

Sekarang, 3 tahun setelah post itu dibuat, mungkin kalian menganggap pribadi saya berubah. Sudah bukan lagi outsider dan bisa masuk ke struktur kepopuleran. Hmmm. The answer is yes... and no. Saya masih that introvert person basically, yang dibalut dengan extrovert way of communicating. Yep, yang saya perbaiki adalah cara komunikasi. Ini hanya analisis dangkal saya ya, tapi mungkin sejatinya saya adalah an introvert alien yang berusaha membaur di dunia yang penuh dengan lingkaran extrovert. Mengapa dulu orang mem-bully dan tidak menyukai saya tanpa alasan mungkin sesungguhnya beralasan, semacam: "Your way of communicating and trying to blend with extroverts is very uncommon, weirdo!". Cukup masuk akal?

(2014) My first printed media with my name on it. Uncorrelated with this post
but since it was a big achievement for an outsider so YAY!

I'm a living proof that being communicative and self-confident is something that you can learn, if you have enough desire to be it. But if you don't want to, it's also very fine. Some people might not accept you too, but it's okay.
Nggak semua orang bisa dan harus menerima "diri sendiri" versi kita. Pun nggak harus jadi ekstrovert (dan populer) untuk bisa bermakna bagi sekitar kita kok. Banyak juga orang-orang introvert dan di balik layar yang bisa memberikan kontribusi hebat.

Saya bersyukur pernah menjadi outsider, pernah menjadi invisible, sehingga kini visibilitas saya nggak membuat saya lupa bagaimana rasanya menjadi minoritas. Insya Allah. Pengalaman menjadi outsider ini adalah guru empati terbaik saya sepanjang sejarah hidup. Jadi ketika saya merangkul orang yang "berbeda" atau "spesial", sesungguhnya saya merangkul diri saya sendiri di masa lalu.

I was an outsider. I was introvert (and still, sometimes). I was invisible. But it's okay, I like myself. :)

Kalian pernah merasa jadi outsider? Coba share pengalaman di kolom komentar dan belajar sama-sama yuk!

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...